Free Tail- Heart 2 Cursors at www.totallyfreecursors.com

Rabu, 02 April 2014

Etika & Profesionalisme TSI (Etika Profesi Hakim)

Etika & Profesionalisme TSI
Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “Ethikos” yang berati timbul dari kebiasaan, adalah cabang utama dari filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab. Berikut ini merupakan dua sifat etika, yaitu :
a.    Non-empirisFilsafat digolongkan sebagai ilmu non empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
b.    Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dan sebagainya, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

Pengertian Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian yang diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu disebut professional, sedangkan professional sendiri mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn profesinya. Berikut ini merupakan ciri-ciri dari profesi, yaitu :
a.    Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis
Seorang professional harus memiliki pengetahuan teoretis  dan keterampilan mengenai bidang teknik yang ditekuni dan bisa diterapkan dalam pelaksanaanya atau prakteknya dalam kehidupan sehari-hari.
b.    Asosiasi Profesional
Merupakan suatu badan organisasi yang biasanya diorganisasikan oleh anggota profesi yang bertujuan untuk meningkatkan status para anggotanya.
c.    Pendidikan yang Ekstensi
Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi. Seorang professional dalam bidang teknik mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi baik itu dalam suatu pendidikan formal ataupun non formal.
d.    Ujian Kompetisi
Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
e.    Pelatihan institutional
Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
f.     Lisensi
Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
g.    Otonomi kerja
Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
h.    Kode etik
Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
i.      Mengatur diri
Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
j.      Layanan publik dan altruism
Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
k.    Status dan imbalan yang tinggi
Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.

Pengertian Etika Profesi
Etika profesi menurut keiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.
1.    Pengertian Hakim
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim.  Hakim juga adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhetian dan pelaksanaan tugasnya ditentukan oleh undang-undang.
2.    Kewajiban / Tugas Hakim
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan mempunyai kewajiban yaitu :
Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tangah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
3.    Profesi Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut:
a)    Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
b)    Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c)    Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
d)    Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
e)    Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: "Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
f)     Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut:
·         Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
·         Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
·         Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
·         Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
4.    Persyaratan Calon Hakim
Berdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan  atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.    Warga Negara Indonesia;
b.    Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.    Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d.    Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya;
e.    Pegawai Negeri;
f.     Sarjana hukum;
g.    Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
h.    Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.

5.    Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim.
Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia. Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang disebut Diklat Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian pra­jabatan, yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum. Setelah melalui proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi keahlian di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.
6.    Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim
Bagaimana mekanisme perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan menentukan kualitas putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal memang memiliki kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya terjaring dalam rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang pengadilan sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik. Faktanya, berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan sehingga berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia. Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan hukum dan keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir. Dalam buku "The Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan hukum, menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil Law) cenderung memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.
7.    Tanggung Jawab Moral Hakim
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini:
·         To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab);
·         To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana);
·         To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun);
·         To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).

8.    Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya diimplementasikan dipersidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan. Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:
a)    bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
b)    tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-pihak yang berperkara;
c)    harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
d)    harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan persidangan; dan
e)    bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan.
Terhadap atasan, seorang hakim harus bersikap:
·         taat kepada pimpinan;
·         menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan jujur dan ikhlas;
·         berusaha memberi saran-saran yang membangun;
·         mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
·         tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
Sedangkan terhadap sesama rekan, hakim haruslah:
·         memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antarsesama rekan;
·         memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama rekan;
·         memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
·         menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Begitu pula terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:
·         harus mempunyai sifat kepemimpinan;
·         membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
·         harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
·         memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
·         memberi contoh kedisiplinan.

9.    Sikap Hakim Di Luar Kedinasan
Disamping itu, di luar kedinasannya berprofesi dipengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:
a)    memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
b)    berkelakuan baik dan tidak tercela;
c)    tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
d)    menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
e)    tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:
a.    menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum maupun norma kesusilaan;
b.    menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;
c.    menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat; dan
d.    tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.
Sedangkan dalah kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:
a)    selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
b)    dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
c)    harus menjaga nama baik dan martabat hakim.

10. Tanggung Jawab Hukum Hakim
Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a.    bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b.    bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c.    bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut:
a)    Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
·         pelaksana putusan Mahkamah Agung;
·         wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
·         penasehat hukum; dan
·         pengusaha.
b)    Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
·         dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
·         melakukan perbuatan tercela;
·         terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
·         melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
·         melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c)    Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d)    Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
e)    Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
·         Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
·         Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
·         Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
·         Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
·         Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
·         Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
·         Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

11. Tanggung Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara dipersidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.

Menurut saya :
Dari pembahasan diatas telah dijelaskan bagaimana etika profesi seorang hakim dan cara rekrutmen untuk menjadi seorang hakim. Dilihat dari semua itu, seorang hakim adalah profesi yang sangat mulia karena hakim membantu seseorang yang hak pribadinya telah diambil oleh orang lain. Hakim di Indonesia telah diatur didalam undang-undang, tapi saat ini jabatan seorang hakim disalah gunakan. Maksudnya, saat ini hakim dapat disuap agar tersangka tidak dimasukan kedalam penjara (bui) atau hakimnya tidak bertindak adil (misalnya ada 2 contoh kasus, kasus anak dari Hatta Radhjasa dengan kasus seorang anak kecil yang pisang) Seharusnya itu tidak dilakukan oleh seorang hakim karena hal itu melanggar etika profesi seorang hakim. Dengan adanya pelanggaran seperti itu, lembaga hukum harus dibentuk. Tujuan dibentuknya lembaga hukum untuk memantau, memeriksa, membina dan untuk merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar kode etik profesi hakim. Hakim yang melanggar harus diberi sanksi atau dicopot jabatannya sebagai seorang hakim.

Nama : Lusi Sulistyarini
Kelas : 4KA31
NPM : 14110096

Sumber :