Etika
& Profesionalisme TSI
Pengertian
Etika
Etika
berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “Ethikos” yang berati timbul dari
kebiasaan, adalah cabang utama dari filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan
tanggung jawab. Berikut ini merupakan dua sifat etika, yaitu :
a.
Non-empirisFilsafat digolongkan sebagai ilmu
non empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang
kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang
kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret.
Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret
yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
b.
Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara
mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum.
Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang
harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat
praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan
resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif.
Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani,
kebebasan, hak dan kewajiban, dan sebagainya, sambil melihat teori-teori etika
masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu
menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.
Pengertian
Profesi
Profesi
adalah suatu pekerjaan yang melaksanakan tugasnya memerlukan atau menuntut
keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang
tinggi. Keahlian yang diperoleh dari lembaga pendidikan khusus diperuntukkan
untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggung jawabkan. Seseorang yang
menekuni suatu profesi tertentu disebut professional, sedangkan professional
sendiri mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan orang yang menyandang suatu
profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja
sesuai dengn profesinya. Berikut ini merupakan ciri-ciri dari profesi, yaitu :
a.
Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan
teoretis
Seorang professional harus
memiliki pengetahuan teoretis dan
keterampilan mengenai bidang teknik yang ditekuni dan bisa diterapkan dalam
pelaksanaanya atau prakteknya dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Asosiasi Profesional
Merupakan suatu badan
organisasi yang biasanya diorganisasikan oleh anggota profesi yang bertujuan
untuk meningkatkan status para anggotanya.
c.
Pendidikan yang Ekstensi
Profesi yang prestisius
biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
Seorang professional dalam bidang teknik mempunyai latar belakang pendidikan
yang tinggi baik itu dalam suatu pendidikan formal ataupun non formal.
d.
Ujian Kompetisi
Sebelum memasuki organisasi
profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji
terutama pengetahuan teoretis.
e.
Pelatihan institutional
Selain ujian, juga biasanya
dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional
mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi.
Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
f.
Lisensi
Profesi menetapkan syarat
pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi
bisa dianggap bisa dipercaya.
g.
Otonomi kerja
Profesional cenderung
mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya
intervensi dari luar.
h.
Kode etik
Organisasi profesi biasanya
memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka
yang melanggar aturan.
i.
Mengatur diri
Organisasi profesi harus
bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional
diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang
berkualifikasi paling tinggi.
j.
Layanan publik dan altruism
Diperolehnya penghasilan
dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan
publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
k.
Status dan imbalan yang tinggi
Profesi yang paling sukses
akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para
anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang
mereka berikan bagi masyarakat.
Pengertian
Etika Profesi
Etika
profesi menurut keiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup
berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat
dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka
melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.
1.
Pengertian Hakim
Hakim adalah pegawai negeri
sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode
kehormatan hakim. Hakim juga adalah
pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang syarat dan tata cara
pengangkatan, pemberhetian dan pelaksanaan tugasnya ditentukan oleh
undang-undang.
2.
Kewajiban / Tugas Hakim
Hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan mempunyai kewajiban yaitu :
Menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dalam masyarakat yang
masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tangah-tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan keputusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim wajib
memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan
mempertimbangkan berat ringannya pidana. Sifat-sifat yang jahat maupun yang
baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan pidana yang
akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk
memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut
dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun
tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
3.
Profesi Hakim dan Karakteristiknya
Sebagai sebuah profesi yang
berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP
menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal
dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim memiliki kedudukan
dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat
beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim
dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas
dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin.
Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap
dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai
berikut:
a)
Profesi hakim adalah profesi yang merdeka
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan
keadilan.
b)
Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin
dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat,
dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam
mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati
asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga
secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c)
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak
ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai
nilai keterbukaan.
d)
Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan
kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk
majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum
menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
e)
Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan
segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal
berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang
lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban
horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa: "Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan
dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili."
f)
Hakim wajib menjunjung tinggi nilai
obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa
hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia
mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum,
panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah
satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh
karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile),
yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan
masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari
kaidah-kaidah pokok sebagai berikut:
·
Profesi harus dipandang sebagai pelayanan,
oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam
mengembangkan profesi.
·
Pelayanan profesional dalam mendahulukan
kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
·
Pengembanan profesi harus selalu berorientasi
pada masyarakat sebagai keseluruhan.
·
Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara
sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di
bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu
keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas
dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi
lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang
diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
4.
Persyaratan Calon Hakim
Berdasarkan Pasal 14 angka 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Warga Negara Indonesia;
b.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945;
d.
Bukan bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang
terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI
atau organisasi terlarang lainnya;
e.
Pegawai Negeri;
f.
Sarjana hukum;
g.
Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh
lima) tahun;
h.
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.
5.
Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim.
Proses pendidikan dan
pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan
sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai
program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi
sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk
memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia.
Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang disebut Diklat
Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf
administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan,
yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum. Setelah melalui proses
pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para peserta
diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh Pusat
Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi
keahlian di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk
mengemban jabatan sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta
diharuskan memenuhi masa magang kembali dengan status sebagai calon hakim di
berbagai pengadilan negeri selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut
Diklat Praktik II ini diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah
pada pelaksanaan tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana
calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap
layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan
dilakukan oleh Presiden melalui Menhukham.
6.
Pola Rekrutmen dan Kualitas Hakim
Bagaimana mekanisme
perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan menentukan kualitas putusan
pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal memang memiliki kapabilitas
dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya terjaring dalam rekrutmen
hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang pengadilan sebagai
pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik. Faktanya, berbagai
putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan sehingga berbagai pihak
menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan masyarakat.
Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang dikeluarkan oleh para
hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya pola rekrutmen hakim
yang selama ini diterapkan di Indonesia. Rifqi S. Assegaf mencontohkan, putusan
Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang membebaskan terdakwa Akbar Tandjung
mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum dan amat mencederai perasaan
hukum dan keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima hakim dalam majelis yang
memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan hakim karir melainkan
berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah hakim karir. Salah
seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan dissenting opinion
dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog tersebut. Berkaca pada
pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini, barangkali perbedaan
pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya disparitas kualitas antara
hakim karir dan hakim non- karir. Dalam buku "The Civil Law
Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan hukum, menyatakan bahwa
hakim karir (yang lahir dari sistem Civil Law) cenderung memiliki mentalitas
birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran yang mandiri. Hal ini
mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk membuat keputusan yang
kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar. Hal ini berbeda dengan
hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum menjadi hakim biasanya
berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau akademisi.
7.
Tanggung Jawab Moral Hakim
Secara filosofis, tujuan
akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan yang
terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam das
sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika profesi.
Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa
awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments
for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di
bawah ini:
·
To hear corteously (mendengar dengan sopan
dan beradab);
·
To answer wisely (menjawab dengan arif dan
bijaksana);
·
To consider soberly (mempertimbangkan tanpa
terpengaruh apapun);
·
To decide impartially (memutus tidak berat
sebelah).
8.
Sikap Hakim dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan etika
kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di atas selanjutnya
diimplementasikan dipersidangan pada saat hakim menjalankan tugasnya. Edy
Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mencontohkan salah satu
bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan dalam menjalankan tugasnya
adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang di pengadilan ketika sedang
memimpin persidangan. Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak
ketiga yang menjadi pencari keadilan dalam persidangan adalah:
a)
bersikap dan bertindak menurut garis-garis
yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
b)
tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan
memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-pihak yang berperkara;
c)
harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana
dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
d)
harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan
persidangan; dan
e)
bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan
keadilan. Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus
menjaga perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan.
Terhadap atasan, seorang
hakim harus bersikap:
·
taat kepada pimpinan;
·
menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan
dengan jujur dan ikhlas;
·
berusaha memberi saran-saran yang membangun;
·
mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan
serta mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
·
tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap
atasan dalam bentuk apapun.
Sedangkan terhadap sesama
rekan, hakim haruslah:
·
memelihara dan memupuk hubungan kerja sama
yang baik antarsesama rekan;
·
memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan
saling menghargai antarsesama rekan;
·
memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan
terhadap korps hakim; dan
·
menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan,
baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Begitu pula terhadap
bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:
·
harus mempunyai sifat kepemimpinan;
·
membimbing bawahan untuk mempertinggi
kecakapan;
·
harus mempunyai sikap sebagai seorang
bapak/ibu yang baik;
·
memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan
dengan hakim; dan
·
memberi contoh kedisiplinan.
9.
Sikap Hakim Di Luar Kedinasan
Disamping itu, di luar
kedinasannya berprofesi dipengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga sikap
dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:
a)
memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
b)
berkelakuan baik dan tidak tercela;
c)
tidak menyalahgunakan wewenang untuk
kepentingan pribadi maupun golongan;
d)
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan
asusila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat; dan
e)
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam kehidupan
rumah tangga, hakim harus bersikap:
a.
menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan
tercela, baik menurut norma hukum maupun norma kesusilaan;
b.
menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan
rumah tangga;
c.
menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan
keadaan dan pandangan masyarakat; dan
d.
tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan
mencolok.
Sedangkan dalah kehidupan
bermasyarakat, hakim harus selalu:
a)
selaku anggota masyarakat tidak boleh
mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat;
b)
dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai
rasa gotong-royong; dan
c)
harus menjaga nama baik dan martabat hakim.
10. Tanggung
Jawab Hukum Hakim
Beberapa peraturan
perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan
dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan
beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a.
bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal
28 ayat (1));
b.
bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya
pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa
(Pasal 28 ayat (2)); dan
c.
bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan
ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29
ayat (3)).
Selain peraturan
perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang
mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini
mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab
Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut:
a)
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim
Agung tidak boleh merangkap menjadi:
·
pelaksana putusan Mahkamah Agung;
·
wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan
dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
·
penasehat hukum; dan
·
pengusaha.
b)
Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim
Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
·
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
·
melakukan perbuatan tercela;
·
terus menerus melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaannya;
·
melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
·
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
c)
Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim
wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera
pada majelis hakim.
d)
Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang
hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian
telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara
yang sama.
e)
Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang
hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua
undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang
mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
·
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
·
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
·
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
·
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
·
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
·
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak; dan
·
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
11. Tanggung
Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab yang
terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab ini,
penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim
dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu,
penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya
juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan
tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar
kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai
hukum acara dipersidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Menurut saya :
Dari pembahasan diatas telah
dijelaskan bagaimana etika profesi seorang hakim dan cara rekrutmen untuk menjadi
seorang hakim. Dilihat dari semua itu, seorang hakim adalah profesi yang sangat
mulia karena hakim membantu seseorang yang hak pribadinya telah diambil oleh
orang lain. Hakim di Indonesia telah diatur didalam undang-undang, tapi saat
ini jabatan seorang hakim disalah gunakan. Maksudnya, saat ini hakim dapat
disuap agar tersangka tidak dimasukan kedalam penjara (bui) atau hakimnya tidak
bertindak adil (misalnya ada 2 contoh kasus, kasus anak dari Hatta Radhjasa
dengan kasus seorang anak kecil yang pisang) Seharusnya itu tidak dilakukan
oleh seorang hakim karena hal itu melanggar etika profesi seorang hakim. Dengan
adanya pelanggaran seperti itu, lembaga hukum harus dibentuk. Tujuan dibentuknya
lembaga hukum untuk memantau, memeriksa, membina dan untuk merekomendasikan
tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar kode etik profesi
hakim. Hakim yang melanggar harus diberi sanksi atau dicopot jabatannya sebagai
seorang hakim.
Nama : Lusi Sulistyarini
Kelas : 4KA31
NPM : 14110096
Sumber :